Monday, July 8, 2019

MELEMAHNYA NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN CADANGAN DEVISA NEGARA

MELEMAHNYA NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN CADANGAN DEVISA NEGARA

Nilai tukar rupiah pada akhirnya mencapai level terendahnya sejak 1998 dengan nilai Rp 13 ribu per dolar AS. Sesungguhnya ada hal yang menarik jika kita menelaah fenomena pelemahan rupiah, mungkin bisa juga dikatakan semacam anomali karena rupiah itu tidak seperti mata uang negara lainnya.

Feomena pelemahan rupiah sebagaimana yang ditunjukkan oleh studi Irawan (2009) dan Pratikto (2012) menunjukkan hal yang tidak lazim, yakni tidak memperbaiki neraca perdagangan karena tidak meningkatkan ekspor dan menekan impor.

Teori ekonomi internasional mengatakan, ketika terjadi pelemahan nilai tukar suatu mata uang, harga komoditas domestik menjadi lebih murah dibandingkan harga komoditas sejenis di pasar internasional. Dengan demikian, akan terjadi peningkatan ekspor. Ekspor meningkat berarti valuta asing juga meningkat. Bertambahnya suplai valuta asing ini selanjutnya akan memperkuat kembali mata uang yang bersangkutan. Masalahnya, fenomena ini ternyata tidak terjadi untuk rupiah.

Hal ini diduga karena bahan baku dalam proses produksi komoditas ekspor kita itu berasal dari impor. Akibatnya, ketika rupiah melemah, biaya produksi meningkat karena harga bahan baku impor dalam dolar ketika dikonversi ke rupiah menjadi lebih mahal. Hal inilah yang menjadi penjelas mengapa depresiasi rupiah tidak memacu peningkatan ekspor walaupun harga produk kita menjadi lebih kompetitif dibandingkan harga produk yang sama di pasar internasional.

Padahal, di sisi lain, depresiasi rupiah menyebabkan inflasi karena harga-harga barang yang dibeli dari luar negeri menjadi lebih mahal. Ketika barang itu adalah barang modal atau bahan baku, kenaikan harganya menyebabkan kenaikan biaya produksi. Ketika biaya produksi naik, tentu saja harga jual akan naik. Fenomena ini dalam literatur ekonomi dinamakan import inflation.

Dan untuk kita, fenomena ini menjadi sangat terasa mengingat 70 persen lebih dari komoditas impor tergolong bahan baku atau barang modal industri. Jika yang diimpor adalah barang langsung konsumsi, kenaikan harga terjadi ketika harga barang impor itu dikonversikan menjadi rupiah saat barang tersebut dijual di dalam negeri.

Angka kurs yang sempat menembus Rp 13 ribu per dolar AS memang cukup mengkhawatirkan banyak pihak akan kemungkinan masuknya Indonesia dalam krisis ekonomi. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan karena tidak mustahil terjadi jika inflasi sebagai mudarat dari depresiasi rupiah diiringi oleh dua dampak negatif lainnya, yakni perlambatan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya angka pengangguran.

Hal tersebut terjadi ketika keuntungan perusahaan yang didapat tidak lagi bisa menutupi biaya yang semakin mahal akibat kenaikan harga bahan baku impor. Ini bisa menyebabkan sebagian industri kolaps yang berimplikasi pada menurunnya pertumbuhan ekonomi. Angka pengangguran meningkat karena industri yang kolaps terpaksa memecat karyawannya atau industri yang masih eksis terpaksa menekan biaya produksi dengan memangkas jumlah tenaga kerja.

Krisis ekonomi terjadi ketika besaran (magnitude) dari dampak negatif itu besar dan berdurasi lama. Sebagai contoh, besarnya magnitude dampak pelemahan rupiah tahun 1997-1998 menyebabkan pertumbuhan ekonomi negatif (pernah -13 persen pada 1998) dan hiperinflasi (kenaikan harga umum di atas 70 persen pada 1998). Sedangkan, durasi dari semua ketidaknyamanan ekonomi itu kita alami dalam waktu yang cukup panjang, yakni dua sampai tiga tahun.

Dari penjelasan di atas, kita berkepentingan dengan rupiah yang stabil dan relatif kuat terhadap mata uang asing. Lalu, apa yang seharusnya dilakukan untuk mencapai target tersebut?

Dalam perspektif ekonomi internasional, ada konsep sederhana jika kita ingin melihat nilai tukar itu stabil dan tidak rentan terhadap guncangan eksternal. Suatu negara akan mampu menghadirkan stabilitas nilai tukar mata uangnya jika cadangan devisa nasionalnya kuat dan besar.

Cadangan devisa ini sebenarnya identik dengan kekayaan sumber daya alam dan kinerja ekonomi internasional suatu negara. Dalam teori klasik tentang back-up nilai tukar disebutkan bahwa emas adalah logam mulia penting yang pernah dijadikan oleh banyak negara dalam era Bretton Woods mem-back-up nilai tukar mata uang mereka. Dan bukan hanya emas, semua kekayaan alam suatu negara identik dengan cadangan devisa nasionalnya jika kekayaan alam tersebut berhasil dikelola dan hasilnya bisa disimpan sebagai reserve (cadangan devisa). Semakin besar kekayaan sumber daya alam dan kegiatan ekonomi internasional lainnya yang berhasil dikonversi menjadi reserve nasional, semakin kuat dan stabil nilai tukar uang suatu negara.

Artinya, jika semua kekayaan alam negara ini benar-benar kita kelola dengan baik dan menjadi reserve nasional kita, rupiah pasti sangat kuat dan tidak mudah goyah dengan gejolak ekonomi eksternal apa pun. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya alam nasional harus dikelola oleh negara, bukan oleh swasta apalagi asing. Dan, ini sesungguhnya selaras dengan amanah konstitusi UUD 45 Pasal 33 Ayat 3.

Saturday, June 29, 2019

Rekonsiliasi dalam akuntansi

Rekonsiliasi bank adalah proses penyesuaian informasi catatan kas menurut sebuah perusahaan dan juga menurut bank. Rekonsiliasi bank  dapat diartikan juga sebagai kegiatan merinci adanya perbedaan terhadap catatan transaksi milik bank sebagai pengelola transaksi serta catatan yang dimiliki oleh perusahaan dengan pihak bank berupa rekening koran atau biasa disebut bank statement.
Dalam proses rekonsiliasi bank akan memperlihatkan seluruh transaksi yang telah Anda lakukan selama periode yang ditentukan. Jika ditemukan perbedaan, akuntan akan melakukan jurnal penyesuaian dengan menggunakan bukti yang dianggap sah dan juga valid.

Beberapa dokumen yang dibutuhkan dalam membuat rekonsiliasi Bank :
  • Jurnal penerimaan kas : untuk mencatat transaksi keungan dan dapat menambah saldo.
  • Jurnal pengeluaran kas : untuk mencatat semua pengeluaran kas dari semua jenis transaksi.
  • Rekening koran : ringkasan transaksi yang sudah terjadi pada periode tertentu
  • Bukti setoran ke Bank : bukti transaksi nasabah saat melakukan setoran ke bank.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

contoh soal rekonsiliasi bank dan juga jawabannya:


PT Surla Profit menyimpan dananya di bank AA. Pada awal bulan Februari 2017, saat menerima rekening koran dari bank AA, akuntan PT Surla Profit melihat perbedaan antara saldo kas di bank menurut catatannya dengan saldo kas menurut rekening koran.
Menurut catatannya, saldo kas pada akhir Januari 2017 adalah sebesar Rp 45.500.00, sedangkan menurut rekening koran bank AA adalah sebesar Rp 54.400.000.
Setelah di periksa kembali, akuntan perusahaan tersebut menemukan beberapa informasi tambahan yang terkait dengan perbedaan saldo tersebut, yaitu:
  • Setoran kas ke bank tanggal 31 Januari 2017 sebesar Rp 15.200.000 belum dicatat oleh bank.
  • Tagihan PT Surla Profit kepada PT BB sebesar Rp 9.600.000 yang dilakukan bank AA telah berhasil dan PT Surla Profit belum mengetahui.
  • Pendapatan bunga bank sebesar Rp 1.200.000 belum dicatat PT Surla Profit.
  • Beban administrasi bank sebesar Rp 300.000 belum dicatat PT Surla Profit.
  • Cek yang diterima PT Surla Profit pada tanggal 25 Januari yang lalu dari PT Maju sebesar Rp 4.000.000 ternyata tidak ada dananya.
  • Cek yang telah dikeluarkan PT Surla Profit pada akhir bulan Januari yang lalu sebesar Rp 13.600.000 ternyata oleh pemegangnya belum dicairkan.
  • Cek sebesar Rp 7.500.000 yang diterima PT Surla Profit dari PT Mundur sebagai pembayaran piutang pada bulan Januari yang lalu, dicatat oleh akuntan PT Surla Profit sebesar Rp 2.500.000.
  • Cek sebesar Rp 3.500.000 yang dikeluarkan oleh PT Surla Profit pada pertengahan bulan Januari yang lalu untuk membayar beban perbaikan kendaraan, oleh akuntan perusahaan dicatat sebesar Rp 2.500.000.

Diminta: buatlah rekonsiliasi bank PT Surla Profit!



Saldo yang benar baik menurut perusahaan maupun menurut bank adalah sebesar Rp 56.000.000 dan setelah diketahui saldo yang benar, maka harus dibuat jurnal penyesuaian berdasarkan perhitungan di atas. Untuk membuat jurnal penyesuaian, cukup diperhatikan sisi perusahaan saja.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

CONTOH 2

Pada tanggal 1 juli 2016 perkiraan bank di buku besar PT.DEBET memperlihatkan saldo senilai Rp. 2.303.000. Di bulan Juli 2016 buku penerimaan kas memeperlihatkan jumlah senilai Rp. 4.730.000.
Tapi pada buku pengeluaran kas memeperlihatkan jumlah senilai Rp 6.572.725. Data yang berrkaitan rekonsiliasi bank antara lain seperti berikut:
  • Cek-Cek yang beredar:
  • Sudah di kredit oleh Bank, jasa gito pada bulan Juli 2016 senilai Rp 7.425
  • Cek nomor 10203 senilai Rp 157.000 dicatat dalam laporan buku pengeluaran senilai Rp 175.000
  • Sedangkan untuk cek nomor 10217 senilai Rp 240.000 dibukukan senilai Rp 24.000. semuanya untuk pembelian barang dagangan.
  • Dan setoran kas senilai Rp 925.000 pada tanggal 31 Juli 2016 belum dicatat dalam rekening koran bank, sebab kas telah ditutup.
  • Bank sudah membebankan biaya administrasi di bulan Juli 2016 senilai Rp 1.000 dan ongkos buku cek senilai Rp 650. Jumlah itu belum dibukukan oleh PT.DEBET
  • Bank sudah mengkredit rekening PT.DEBET atas kiriman uang dengan jumlah Rp 199.950 yang diperoleh dari pelanggan untuk melunasi utangnya.
  • Setoran cek yang diperoleh dari PT.DEBET senilai Rp 120.000 pada tanggal 28 Juli 2016 sudah ditolak sebab saldo tidak mencukupi.
Diminta:
  • Buatlah Bank rekonsiliasi per 31 Juli 2016 untuk menyesuaikan saldo menurut rekening korang dengan saldo berdasarkan perkiraan bank
  • Buatlah jurnal penyesuaian yang dibutuhkan

Berikut laporan rekonsilliasinya:




Berikut ini Jurnal Penyesuaianya


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Contoh 3

PT. Lestari Abadi telah menerima rekening koran dari Bank Debit per 31 Juli 2016 yang menunjukkan jumlah saldo sebesar Rp1.220.000.
Pada tanggal 1 Juli 2016 perkiraan bank di buku besar PT. Lestari Abadi  menunjukkan saldo sebesar Rp2.303.000. Pada bulan Juli 2016, buku penerimaan kas menunjukkan jumlah sebesar R4.730.000, sedangkan buku pengeluaran kas menunjukkan jumlah sebesar Rp6.572.725. Data yang berhubungan rekonsiliasi bank adalah sebagai berikut:
1. Cek-cek yang beredar :
2. Telah dikredit oleh bank, jasa giro bulan Juli 2016 sebesar Rp7.425
3. Cek Nomor 10203 sebesar Rp157.000 dicatat dalam laporan buku pengeluaran sebesar Rp175.000.
4. Sedangkan cek nomor 10217 sebesar Rp240.000 dibukukan sebesar Rp24.000. Seluruhnya untuk pembelian barang dagangan.
5. Setoran kas sebesar Rp925.000 pada tanggal 31 Juli 2016 belum dicatat dalam rekening koran bank karena kas bank sudah tutup.
6. Bank telah membebankan biaya administrasi bulan Juli 2016 sebesar Rp1.000 dan ongkos buku cek sebesar Rp650. Jumlah tersebut belum dibukukan oleh PT. Lestari Abadi.
7. Bank telah mengkredit rekening PT. Lestari Abadiatas kiriman uang sebesar Rp199.950 yang diterima dari pelanggan untuk melunasi utangnya.
8. Setoran cek yang diterima dari PT. Lestari Abadi sebesar Rp120.000 pada tanggal 28 Juli 2016 telah ditolak karena saldo tidak mencukupi.

Berikut laporan rekonsiliasi nya




Berikut ini adalah Jurnal Penyesuaiannya



Thursday, March 21, 2019

Menghitung Bea Masuk dan Pajak dalam Rangka Impor





 










DASAR PERHITUNGAN BM & PDRI

 
1. Nilai Pabean adalah Nilai Transaksi
Nilai Pabean = CIF (Cost/FOB, Insurance, & Freight) x NDPBM (Nilai Dasar Perhitungan Bea Masuk)

2. Cost/FOB adalah nilai barang yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar. Pembebasan FOB untuk barang kiriman sebesar 50 USD, untuk barang penumpang sebesar 250 USD/orang atau 1000 USD/ keluarga.

3. Insurance (asuransi) yang tercantum dalam polis asuransi. Apabila asuransi ditutup di dalam negeri, asuransi dianggap nihil (importir wajib melampirkan polis asuransi)

4. Freight adalah ongkos angkut sampai pelabuhan tujuan ditunjukan dengan B/L, AWB atau dokumen lainnya. Apabila tidak ada data Biaya Kirim (Freight) dan Asuransi maka; 
==>> Untuk pengangkutan melalui laut maka Freight-nya:
         5% dari FOB (Free on Board) 
==>> Untuk barang yang dikirim dari negara ASEAN 10% dari FOB untuk Asia-Non Asean atau Australia
==>> Untuk negara selain dari keduanya sebesar 15%

Sedangkan untuk pengangkutan udara ditentukan berdasarkan Tariff International Air Transport Association (IATA).
==>> Asuransi  ditetapkan 0,5% dari nilai Cost and Freight (CFR).
==>> NDPBM (Kurs yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan. Dan untuk penghitungan BM dan PDRI, dipergunakan NDPBM yang berlaku pada saat ini



PENGHITUNGAN BM DAN PDRI
 

BM yang harus dibayar dihitung dengan cara sebagai berikut:
==>>   Untuk tarif advalorum
          BM  = Nilai Pabean x NDPBM x % BM
==>>   Untuk tarif spesifik           BM = jumlah satuan barang x % BM  per- satuan barang

PDRI (PPN, PPnBM, dan PPh) yang seharusnya dibayar dihitung dengan cara sebagai berikut:
–  PPN          = 10% x (Nilai Pabean + BM)
–  PPnBM      = % PPnBM x (Nilai Pabean + BM)
–  PPh          = 2,5% x (Nilai Pabean + BM)
Jika mempunyai API/APIT         = 7,5% x (Nilai Pabean + BM)
Jika tidak mempunyai API/APIT  = 15% x (Nilai Pabean + BM) (Jika tidak memiliki NPWP)

CONTOH SOAL

1. PT. Kastara Mode Fashion melakukan importir alat elektronik dari Jepang. Pada bulan September 2019, memasukkan barang dengan cost U$ 50.000 ,insurance U$ 3.000,Freight U$ 6.000,Bea masuk 5 % dari CIF,Bea masuk tambahan 20 %.Kurs U$ =10.000
Hitung PPh Pasal 22 :
a. Jika Punya API
b. Jika tidak punya API
c. Jika melalui inden dengan Handling fee U$ = 500,00.Adakah penghematan pajak?


JAWABAN :
Cost           : 50.000 x 10.000 =Rp.500.000.000
Insurance    : 3.000 x 10.000   =Rp.   30.000.000
Freight        : 6.000 x 10.000   =Rp.   60.000.000

                    Rp.59.00             Rp. 590.000.000

Bea Masuk 5 %           = Rp. 29.500.000
Bea Tambahan 20 %    = Rp.118.000.000 + Nilai Impor =  Rp 737.500.000
a. PPh pasal 22 :2,5 % x 737.500.000 =Rp.18.437.500
b. PPh pasal 22 :7,5 % x 737.500.000 =Rp.55.312.500
c. HF = Rp.500,00 x 59.000 = Rp.29.500.000


Penghematan pajak :
Rp.55.312.500 – (Rp. 18.437.500 + Rp. 29.500.000) =Rp.7.375.000











 

PERPAJAKAN & PPH 22

Pajak  adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
Penggolongan pajak berdasarkan lembaga pemungutannya di Indonesia dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah.

Pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi:

  1. Pajak Penghasilan / PPh ( berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya )
  2. Pajak Pertambahan Nilai PPN ( atas pembelian barang/jasa )
  3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
  4. Bea Meterai ( dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan )
  5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:


  1. Pajak Propinsi, meliputi:
    1. Pajak Kendaraan Bermotor;
    2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
    3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
    4. Pajak Air Permukaan;
    5. Pajak Rokok.
  2. Pajak Kabupaten/Kota, meliputi:
    1. Pajak Hotel;
    2. Pajak Restoran;
    3. Pajak Hiburan;
    4. Pajak Reklame;
    5. Pajak Penerangan Jalan;
    6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
    7. Pajak Parkir;
    8. Pajak Air Tanah;
    9. Pajak sarang Burung Walet;
    10. Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan perkotaan;
    11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.
setelah mengetahui pengertian pajak dan penggolongannya, kita akan membahas mengenai salah satu bagian dari pajak itu sendiri. sampai disini sudah ada yg pernah bekerja dibidang ekspor impor kah? atau mungkin ada yg bercita-cita bekerja disalah satu bidang tersebut? hehe okedeh semoga artikel ini bisa bermanfaat buat kalian yaa teman-teman. tetap semangat dan jangan lupa selalu berdoa untuk setiap langkah dan keadaan.

PPh 22 merupakan pajak  yang dipungut oleh bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama.  selain itu badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti kegiatan usaha produksi barang tertentu juga dikenakan pajak ini.

  1. Objek PPh Pasal 22

Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, adalah:
  • Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas impor barang dan ekspor komoditas seperti tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam yang dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan dan Kontrak Karya.
  • bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang.
  • bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP)
  • Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
  • Badan usaha tertentu ( BUMN )

Tarif PPh Pasal 22

1.  Atas impor:

  •  yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor;
  •  yang tidak menggunakan API, 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor;
  •  yang tidak dikuasai, 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.

2.  Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJA, Bendaharawan Pemerintah, BUMN/BUMD sebesar 1,5% (satu  setengah persen) dari harga pembelian dan tidak final.

3. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:
  • Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
  • Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
  • Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
  • Rokok = 0.15% x Harga Bandrol (Final)
  • Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)

4.  Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh Pertamina dan badan usaha lainnya yang bergerak  dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas adalah sebagai berikut:
  • 0.3 % x Penjualan (SPBI Swastanisasi )=Premium, solar & super TT
  • 0.25 % x Penjualan (SPBU Pertamina ) = Premium, solar & super TT
  • 0.3 % x enjualan (SPBU Pertamina ) = minyak tanah & LPG
5.  Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul ditetapkan sebesar     0,5 % dari harga pembelian tidak termasuk PPN.

6.  bahan bakar gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
7.  pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai

8.  Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi:

* penjualan semua jenis semen sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen);





* penjualan kertas sebesar 0,1% (nol koma satu persen);





* penjualan baja sebesar 0,3% (nol koma tiga persen);





* penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih, tidak termasuk alat berat, sebesar 0,45% (nol * koma empat puluh lima persen);





* penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% (nol koma tiga persen), dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan  Nilai.


Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22

  • Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB).
  • Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.
  • Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
  • Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah yang jumlahnya paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
  • Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos.
  • Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
  • Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
  • impor kembali (re-impor) yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh DJBC. 
  • Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.
  • barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan, atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;








































































































MELEMAHNYA NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN CADANGAN DEVISA NEGARA

MELEMAHNYA NILAI TUKAR RUPIAH DENGAN CADANGAN DEVISA NEGARA Nilai tukar rupiah pada akhirnya mencapai level terendahnya sejak 1998 deng...